Assalamualaikum bos,
Teman saya pandai menulis karya, makanya saya publikasikan memalui blog ini. Namanya Bela Shifa, dia sekelas denganku dia selalu mendapat peringkat 1, ya tepatnya dikelas X7 SMA N 1 Subah. oke langsung saja dibaca dengan penuh perasaan :D
Antara Cinta dan Budaya
(karya:
Bella Shifa X7)
Bagaikan
surga tersembunyi dibalik riuhnya negeri ini. Lukisan terindah Yang Maha Kuasa
goreskan berhasil membuat hati setiap insani terpukau,terpesona, dan terpana,
tiap kali menatap tajam pelataran surga ini. Sang angin yang goyah berhembus
kesana kemari membelai lembut hati untuk jangan beranjak pergi. Percikan air
sungai yang mengalir memang amat sangatlah gaduh, namun membuat setiap pasang telinga
semakin ingin mendekat dan mendengarnya. Ladang nan luas menghijau menghasilkan
harta berlimpah ruah tak terhingga. Udara pagi yang dingin tak lantas
membekukan hati, justru mampu menghangatkan raga setiap insani. Sang surya tak
pernah lelah pulang pergi dari mahligainya. Cahaya sang indra melawati celah
pepohonan nan rindang bagaikan lentera ditengah gelapnya dunia. Indah,sejuk,
dan menawan tatkala sang indra mulai datang di peraduannya. Kicauan burung
begitu syahdu menyambut kedatangannya. Awan putih tersenyum cerah sembari
menghiasi atmosfer dunia. Ribuan pasang mata terbuka menyambut tantangan yang
terus datang menyerang setiap harinya. Ribuan pasang kaki mulai melangkah
menuju tujuannya. Ribuan pasang tangan mulai bekerja melakukan aktivitas kesehariannya. Dengan semangat yang begitu menggebu
disanubarinya hingga nanti senja tiba mengakhirinya.
Labuhan
Maringgai, ya... . itu adalah suatu wilayah adat di daerah Lampung. Salah satu
wilayah di Indonesia yang begitu kental akan adat budayanya. Dengan masyarakat
yang begitu sopan dan murah senyum kepada siapa saja. Rasa kebersamaan dan
gotong royong selalu terjalin diantara mereka. Salah satu wilayah disekian
banyak wilayah-wilayah lainnya di nusantara yang damai,tentram, dan sejahtera.
Beribu-ribu hektar perkebunan membentang luas dengan megahnya. Hamparan ladang
sebagai sumber mata pencaharian kehidupan penduduk disana. Tak terkecuali
Burhan dan Manihing, sepasang suami istri yang keduanya sudah berusia kepala
empat. Namun sifat keduanya yang begitu mencintai adat budaya setempat patut
menjadi teladan untuk setiap insan berbudaya. Manihing yang merupakan wanita
keturunan Lampung dan merupakan warga Lampung asli, telah dipersunting oleh
Burhan yang merupakan pria ibukota Jakarta. Meskipun keduanya berbeda daerah
dan kebudayaan, mereka saling menghargai dan menghormati adat daerah satu sama
lain. Terutama Burhan, ia bahkan memutuskan tinggal menetap di Labuhan
Maringgai, Lampung yang merupakan tanah kelahiran istrinya karena begitu
cintaya dengan adat budaya Lampung. Mereka dipertemukan tatkala Manihing dahulu
hendak mencari pekerjaan di Ibukota. Hingga keduanya saling jatuh cinta, lalu
menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik bernama Sati.
“Sati
kemarilah kau...! bantu amak menenun” panggil Manihing pada Sati sembari ia
dengan ulet menenun satu per satu benang sutra nan indah itu. Sati yang pada
saat itu tengah asik membaca komik kesukaannya merasa goyah kala amaknya
memanggil mengehentikan aktivitasnya itu. Warga Lampung biasa memanggil ibu
dengan sebutan “amak” dan ayah dengan sebutan “abak”. Sati lalu
menuju ruang tengah menemui ibunya yang sedari tadi memanggil.
“Apahal amak
ini? Menggangguku baca komik saja!” ujar Sati dengan kesal.
“Bantu amak
menenun sebentar. Amak nak menyiapkan hidangan agar nanti saat abakmu pulang
meladang sudah ada santapan” perintah Manihing. Kebiasaan wanita daerah
Labuhan Maringgai mengisi waktu luangnya dengan menenun.
“Baiklah
amak..” jawab Sati terpaksa. Perlahan-lahan Sati mengaitkan dan menyatukan
benang-benang sutra menggunakan alat bantu tradisional dari kayu itu. Tentu
saja dengan perasaan kesal karena ibunya mengganggu asiknya dia yang tadi
tengah membaca komik yang merupakan hobinya.
Sedikit
ulasan mengenai masa lalu Sati.... Sati dan orang tuanya merupakan keluarga
yang sangat sederhana. Mereka tinggal dirumah yang merupakan warisan dari nenek
Sati. Meski rumah yang terkesan sangat sederhana namun mereka tetap bersyukur
karena rumah tua itu mampu melindungi mereka dari segala macam bahaya yang
mengancam dan cuaca yang silih berganti. Manihing, Ibu Sati hanya seorang ibu
rumah tangga yang setiap hari sibuk mengurusi segala urusan rumahnya. Sementara
Burhan, ayah Sati mengais rejeki setiap harinya di ladang milik orang lain.
Manihing dan Burhan sangat mencintai adat budaya Lampung. Namun sayangnya, Sati
putri mereka tidak terlalu menyukai bahkan hampir tidak menyukai adat budaya
setempat. Bukan tanpa alasan Sati bersikap seperti itu.
Dulu
sewaktu Sati masih duduk di bangku SD dan SMP, ia sangat mencintai budayanya.
Dia aktif mengikuti ekstra tari disekolahnya, dia sangat bersemangat tatkala
ibunya memerintahkannya menenun, dan dia rutin menyaksikan pertunjukan seni
yang setiap minggunya diadakan di balai daerah. Akan tetapi semua itu hilang
musnah tatkala Sati menempuh pendidikan di SMU Manggarai. Sikapnya terhadap
budayanya amat sangat teramat berubah. Semua terjadi karena pengaruh geng
sekolah. Arina,Rista,Helmi dan Dera yang merupakan anak golongan atas mencaci
makinya habis-habisan.
“hahaha.. dasar anak kuper! Orang macam itu! bukan
level kita! Bisanya Cuma nari-nari, nenun kain, apahal itu tak bermutu! Pantas
saja keluargamu tidak mampu! Ibu tak kerja! Ayah Cuma meladang! Anaknya kuper
bisanya Cuma itu-itu saja tak ada manfaatnya! Keluarga macam apa itu! hahaha..”
Perkataan dari geng sekolahnya itu
yang sampai sekarang masih membuat Sati sakit hati. Selama 3 tahun di SMU dia
terus dicaci maki. Bukan hanya harga dirinya yang diinjak, tapi bahkan harga
diri orang tuanya pun dinjak bagai sampah tak berguna. Perih sangat batin Sati
pada saat itu. Sayangnya Sati tak bisa berfikir jernih. Bukannya berusaha
melestarikan budaya yang ia tekuni agar lebih bermanfaat dan berguna bagi
kehidupannya kelak, malah dia membenci budaya yang telah ditekuninya itu.
Menurutnya karena ia mencintai adat istiadat yang memang terkesan jadul di era
yang semakin global ini sehingga ia dicaci maki habis-habisan oleh orang lain.
Yang pada akhirnya dia merubah sikapnya, dia tak lagi mempedulikan budaya yang
sebelumnya dia banggakan. Dia tak lagi disibukkan dengan mengikuti
ekstrakulikuler seni. Dia membantu ibunya menenun dengan setengah hati. Dia tak
mau lagi tiap seminggu sekali mengunjungi balai daerah untuk menyaksikan
pertunjukan seni. Hal ini tentu membuat kedua orang tuanya gelisah. Kedua orang
tuanya begitu menginginkan Sati untuk terus mencintai budaya agar kelak dapat
dilestarikan pada anak cucunya. Ya.. masyarakat Labuhan Maringgai memang begitu
kental adat budayanya. Mereka menganggap bahwa budaya sebagai identitas dan
jati diri yang melekat kuat pada jiwa mereka.
Kedua
orang tua Sati sebenarnya ingin memarahi Sati. Tapi mereka tidak tega, mereka
tak ingin mengingatkan Sati pada cemoohan teman-teman sekolahnya dulu. Apalagi
sekarang Sati sudah lulus SMU, namun ia tidak bisa melanjutkan ke jenjang
selanjutnya karena keterbatasan ekonomi. Penghasilan Burhan hanya cukup untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Karena itu kedua orang tuanya merasa
sangat bersalah karena tidak bisa membantu Sati melanjutkan sekolahnya. Kedua
orang tuanya tidak ingin menambah beban pikiran Sati. Kedua orang tuanya begitu
mencintai Sati karena Sati adalah satu-satunya buah hati yang mereka miliki.
“Aku tak akan menenun kalau bukan karena aku
kasihan pada amak.” Gumam Sati dalam hati saat jari jemarinya sibuk
menenun. Selang beberapa lama keudian, Burhan ayah Sati pulang meladang kala
hari sudah mulai petang. Terlihat seorang laki-laki yang begitu lunglai
kelelahan karena beradu dengan ganasnya sinar matahari saat di ladang tadi.
“Sati... nanti
malam ikut abak ke balai daerah ya? Kita lihat pertunjukan seni disana. Sudah
lama sekali kamu tak menyaksikan itu..” ucap Burhan duduk disebelah Sati
sembari mengelus kepaka Sati.
“apa abak? Aku
tak mau! Aku tak mau tahu lagi tentang adat-adat macam itu! aku tak mau harga
diriku dinjak lagi!” ucap Sati dengan suara yang tinggi.
Burhan sudah tahu sebenarnya jikalau Sati akan
menanggapi ajakannya seperti itu. Akhirnya Burhanpun mengalah. Ia tak mau
memaksa putri satu-satunya yang begitu ia cintai itu. Ia takut jika Sati merasa
tertekan lalu pergi meninggalkannya. Burhan membatalkan niatnya untuk pergi ke
balai daerah.
Keesokan
harinya, Sati bangun pagi-pagi sekali. Fajar saja baru bangun menyingsing. “Amak aku nak pergi ke pasar dulu ya
sebentar!” ucap Sati. “yasudah jangan
siang-siang kau tiba di rumah” kata Manihing sambil menyiapkan sarapan
untuk Burhan suaminya. Dengan mengayuh sepeda tuanya itu, Sati begitu
bersemangat pergi ke pasar. Entah apa yang hendak di belinya, dan ternyata ia
membeli poster yang disana terdapat wajah-wajah orang asing yang ia lihat
dikomik Widney Shaldon kesukaannya itu. selain itu dia juga membeli komik-komik
asing lainnya serta beberapa keping VCD lagu-lagu barat yang sering ia dengar
lewat radio dikamarnya. Setelah ia mendapat apa yang dia mau itu dia bergegas
pulang. Dengan senyum lebar dibibirnya dia mengayuh lagi sepeda tuanya itu. Di
perjalanan pulang dia melihat seorang pemuda. Tampan,murah senyum dan
sepertinya terlihat baik orangnya. Sontak saja Sati langsung terpana.
Sebenarnya Sati sering sekali melihat pemuda itu, namun dia tak berani
mendekatinya. Jangankan mendekati, menatap matanya saja Sati sudah tak kuasa.
Sesampainya
di rumah, Sati langsung membereskan dan menata rapi tak berantakan barang-barang
yang dibelinya itu di kamarnya. VCD nya langsung dinyalakan, poster-poster ia
tempelkan, dan komik barunya mulai dia baca dari awal dengan perlahan. Sungguh
semua yang dia beli adalah pengaruh dari budaya-budaya barat. Bagai burung yang
terbang di langit malam gelap, Sati sama sekali tak memperlihatkan lagi rasa
pedulinya pada budaya lokal. Memang benar jika ada pepatah lidah senjata paling membunuh, terbukti hanya karena perkataan cemooh
dari teman Sati dulu, ia sekarang bersikap seperti itu.
Hari
semakin siang. Sang indra semakin menampakkan dirinya ditengah langit dunia.
Udara panas semakin menyengat terasa. Sati masih asik saja membaca komiknya
itu. lembar demi lembar ia telusuri dengan sangat teliti. Tiba-tiba ibunya
memanggil dari depan rumah “Sati!! tolong
antarkan kain tenun ini ke rumah bu Cicik ya nak!” perintah Manihing. Sati menjawab
“baiklah amak!”. Sati sebenarnya anak
yang sangat patuh terhadap orang tuanya. Hanya saja setiap kali orangtuanya
membicarakan masalah adat, Sati langsung menentang. Lalu Sati mengayuh sepada
tuanya menuju rumah bu Cicik. Bu Cicik adalah wanita pemilik ladang tempat ayah
Sati meladang. Entah mengapa sepanjang perjalanan jantung Sati berdegup sangat
kencang dan darahnya mengalir begitu cepat. Entah firasat apa yang Sati
rasakan.
Setelah
beberapa menit mengayuh Sati akhirnya tiba di rumah bu Cicik. “Alamak! Besar sekali rumah ini!” kagum
Sati saat melihat rumah yang begitu megah nan mewah yang ada di depannya itu.
Ia mengetuk pintu rumah megah itu dan kemudian keluar seorang wanita yang
berwibawa. Ya.. wanita itu bu Cicik.
“bu Cicik ini
kain tenun titipan amak” kata Sati.
“terimakasih nak, indah sangat! amakmu ini
pandai sekali membuatnya. Masuklah sebentar nak, ibu ingin memberi sesuatu
kepadamu” Ucap bu Cicik sambil tersenyum.
Satipun mengangguk lalu ia masuk kerumah itu.
Matanya begitu terpana, ia memandang kesana kemari isi rumah nan megah bagai
istana itu yang baru pertama kali ini di lihatnya. Bu Cicik sebenarnya adalah
orang Jakarta, sama seperti Burhan ayah Sati. Tapi suami bu Cicik orang
Lampung, sama seperti Manihing ibu Sati. Namun bu Cicik sangat membanggakan
budaya Lampung, persis seperti Burhan ayah Sati.
“Sati, udah
nunggu lama ya? Maaf ya Sati. Ini ibuku memberi uang sebagai upah untuk ibumu.
Maaf ibuku ada urusan mendadak jadi aku yang disuruh ngasih uang ini ke kamu”
ucap seorang pemuda yang mengejutkan lamunan Sati saat memandangi isi rumah
mewah itu.
Ya, pemuda itu adalah Tara, putra
bu Cicik. Tara sudah 2 bulan ini menetap di Lampung untuk menyelesaikan tugas
kuliahnya. Dia kuliah di salah satu fakultas ternama di Jakarta.
Sesungguhnya dia warga ibukota, terlihat
kan dari logat bicaranya yang berbeda. Sati sangat terkejut mendapati seorang
pemuda yang selama ini dikaguminya, yang selalu dia lihat saat mengantarkan
bekal di ladang tempat ayahnya bekerja, yang dia lihat tadi pagi sehabis pulang
dari pasar, dan pemuda itu sudah mengenalnya sementara Sati tidak tahu siapa
dia. Tara lalu tersenyum dan dia tahu bahwa Sati heran kenapa Tara sudah tau
Sati. Tara mengajak Sati berkenalan. Tara pemuda yang tutur katanya sngat
sopan, wajahnya sangat rupawan dan hatinya yang sangat dermawan membuat Sati
benar-benar jatuh hati. Tara sebenarnya juga sudah lama mengagumi Sati. Ia
memperhatikan Sati setiap Sati datang ke ladang ibunya untuk mengantarkan bekal
kapada Burhan ayah Sati. Dimata Tara Sati adalah gadis cantik, sederhana, rajin
dan selalu berbakti kepada orang tua. Tara juga sering bertanya-tanya pada
Burhan tentang Sati disela-sela istirahat kerja Burhan di ladang. Namun Tara
tidak menunjukkan kalau dia telah mengagumi Sati.
“Sati.. besok kita ketemu ya, aku ingin mengajakmu
kesuatu tempat” ajak Tara tanpa basa-basi. Satipun terkejut, dia memandang
dan menatap dalam-dalam mata Tara. Begitu pula dengan Tara. Jantung Sati
berdegup kencang bagai genderang perang. Pemuda yang ia idam-idamkan mengajak
pergi bersama. Satipun tersenyum mengagguk sambil tersipu malu lalu dia pulang.
Sesampai di rumah dia sangat bahagia, hatinya merekah berbunga-bunga. Ia
terbayang-bayang Tara yang tanpa ragu mengajaknya pergi bersama.
Hari
yang ditunggupun tiba, siang itu Sati dengan inisiatif pergi kerumah Tara untuk
mengajaknya pergi sesuai dengan ajakan Tara kemarin. Karena Sati juga belum tau
dia akan diajak kemana. Ketika Sati hendak mengetuk pintu rumah Tara, secara
bersamaan Tara juga membuka pintu rumahnya. Dan merekapun saling berhadapan,
saling menatap satu sama lain. Betapa bahagianya hati Sati, lidahnya kelu tak
mampu berkata apapun.
“Kok kesini?
Sebenarnya kamu mau aku jemput” kata Tara,
“ah sudah tak
perlu, aku bukan ratumu yang harus selalu kau jemput setiap waktu” canda
Sati pada Tara.
Tara hanya tersenyum lalu ia menggandeng tangan Sati
ke sepeda motornya. “silahkan naik, Sati” ajak Tara dengan semangat yang
membara. Tanpa ragu Satipun langsung naik ke sepeda motor itu. lalu mereka
berangkat.
Tak
lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Sati sangat terkejut! Ternyata
Tara membawanya ke balai daerah. Disana banyak orang sedang berlatih untuk pertunjukan
seni. Sati benar-benar terkejut. Perasaannya marah,bingung,kesal campur aduk
menjadi satu. Pertunjukan seni biasa diadakan seminggu sekali di labuham
manggarai ini. Pertunjukan itu selalu diadakan di balai daerah. Tara memang
sengaja membawa Sati ketempat itu dengan harapan Sati mau mencintai budayanya
lagi. Meskipun Tara lebih sering tinggal di jakarta tapi dia sangat menghargai
budaya lainnya. Ayah Tara yang merupakan warga Lampung sudah meninggal karena
serangan jantung saat Tara masih kecil, oleh karena itu agar Tara tidak
melupakan adat budaya daerah tempat tinggal almarhum ayahnya, Tara dan ibunya
terus menghormati dan mencintai budaya Lampung. Mendengar cerita dari Burhan
ayah Sati tentang Sati, Tara langsung tersentuh.
‘Tara kenapa
kamu membawa ku ke tempat ini!” ucap Sati kesal.
“kenapa? Apa
yang salah dengan tempat ini? Aku sangat mencintai budaya disini Sati” ucap
Tara
“tapi aku
tidak suka tempat ini Tara!”. Lalu Tara meraih tangan Sati dan mengajaknya
duduk di bangku sudut balai daerah.
“Sati
dengarlah.. meskipun aku bukan orang asli daerah ini aku begitu menghormati dan
mencintai budaya disini. Budaya disini sangat indah, tidak kah kau kagum? Semua
orang disini sangat antusias melestarikan budayanya. Mereka
menari,bernyanyi,bergembira menikmati budaya yang ada.”
“tapi Tara,
kamu tak tahu kalau...”
“aku tahu
Sati.. di dunia ini kita tidak hidup sendiri. Ada banyak orang lain dari
berbagai kalangan. Namun ingat, siapapun yang mencaci maki kamu, mengejekmu,
mereka justru lebih rendah dari kamu. Jangan pernah malu untuk mencintai
kebudayaanmu sendiri. Malulah saat dirimu tertunduk kala orang lain menghinamu
sementara mereka tidak tau apa-apa tentang budaya, tidak seperti kamu Sati..”
“tapi Tara aku
sangat sakit hati” ucap Sati sambil matanya berkaca-kaca.
“Sati
ingatlah, sakit hati tak perlu sampai berlarut-larut. Hati kamu terlalu baik
sehingga banyak yang ingin menyakitimu. Sadarlah, aku dan ayahmu bukan penduduk
asli disini. Tapi meskipun demikian kami mencintai adat yang ada. Lihat ibu dan
ayahmu, mereka bekerja keras membesarkanmu dengan harapan kamu bisa seperti
mereka. Mencintai kebudayaan yang ada seperti apa yang dilakukan masyarakat
disini. Kamu bisa mendapat penghasilan dengan bakat menari yang kamu mliki,
kamu bisa membuka sanggar tari sendiri. Kamu juga mendapat penghasilan dengan
keahlian menenun kamu, kamu bisa menjual kain tenun hasil karyamu. Betapa itu
kelebihan yang kamu miliki Sati. sadarlah.. kamu jauh lebih tinggi dari mereka
yang mencacimu.” Tara berusaha
menyadarkan Sati.
“Tara, aku
ingin pulang...” ucap Sati lemas. Sati tak tahu darimana Tara tahu
segalanya. Namun yang jelas perasaan Sati saat itu kacau. Tara tersenyum lalu
mengantar Sati pulang.
Sesampai dirumah, Sati langsung menuju
kedalam rumah tanpa mengucap sepatah kata pun pada Tara. Tara memaklumi sikap
Sati pada saat itu. Tara sangat berharap agar Sati dapat mengubah pola
pikirnya. Sati begitu terburu menuju ke kamarnya. Pintu kamar dia hempaskan begitu saja. Sati selalu teringat ucapan yang
dikatakan Tara. Sati sadar akhirnya, bahwa selama ini sikapnya salah. Ia
teringat kedua orangtuanya. Ia menyesal telah terlarut-larut dalam rasa sakit
hati akibat cemoohan teman SMUnya dulu. Tak seharusnya dia malu mencintai
budayanya. Padahal dengan budayanya justru dia dapat lakukan lebih. Dia begitu
menyesal, sampai dia malu pada dirinya sendiri. Dia menangis tersedu-sedu. Air
matanya menganak sungai. Namun dengan menangis dan menyesali perbuatannya, kini
dia berfikir jernih. Dia berjanji kepada Tuhan dan dirinya sendiri untuk tidak
lagi bersikap tak acuh pada budaya yang sebenarnya mengalir dalam darahnya. Ia
ingin menjadi apa yang orang tuanya harapkan. Hari itu Sati mengurung dirinya
di dalam kamar, dia ingin membenahi dirinya sendiri.
Keesokan harinya Sati bangun
pagi-pagi sekali. Kini dia muncul dengan pribadi yang baru. Dia begitu
tersenyum riang tiada terkira. Dia membantu ibunya memasak dan mengurus segala
pekerjaan rumah dengan begitu semangat. Setelah itu dia menuju kamarnya yang
dipenuhi dengan poster, VCD dan komik baratnya itu. Dia mengambil sebuah kardus di dalam lemarinya yang terbuat dari
kayu jati itu. Di dalam kardus itu terdapat banyak sekali rekaman-rekaman dan
VCD tarian tradisional yang ia koleksi semasa SMP dulu. Ia ambil lalu ia taruh
di meja kamarya menggantikan posisi komik-komik barat yang ia koleksi
sebelumnya. Akhirnya, kini Sati kembali pada pribadinya yang dulu yang begitu
mencintai budayanya. Tiap hari pun tangannya selalu disibukkan dengan kegiatan
menenunnya. Orang tuanya pun tak
mengerti bagaimana bisa dia tiba-tiba berubah, apa yang membuatnya tiba-tiba
berbeda. Tapi bagaimanapun juga mereka sangat bersyukur bahwa putrinya kini
menjadi seseorang yang mereka inginkan.
Kini Sati dan Tara sering pergi
ke balai daerah untuk menyaksikan pertunjukan seni. Mereka pergi bersama tanpa
sepengetahuan orang tua Sati. Entah mengapa Sati tak mau berterus terang kepada
orang tuanya tentang Tara. Meski demikian kini Tara sangat bahagia. Hatinya
begitu merdeka. Tara bahagia karena ia berhasil mengubah gadis yang dia
dambakan menjadi apa yang orang tua Sati harapkan. Mereka sering pergi bersama.
Seperti ada ikatan batin diantara mereka sehingga untuk saling menjauh pun
mereka tak kuasa. Setiap malam mereka selalu dipertemukan dalam do’a. Ya,
karena hati tak bisa dibohongi bahwa mereka sebenarnya ingin saling memiliki.
Namun diantara keduanya belum ada yang berani mengungkapkan perasaanya.
Terutama Sati, dia begitu minder apakah Tara mau dengan gadis sederhana seperti
dirinya sementara Tara adalah lelaki kaya raya.
Hingga pada suatu malam, sepulang
dari pertunjukan seni di balai daerah, Tara mengajak Sati ke sebuah taman.
Lampu taman dan bunga-bunga yang indah menjadi saksi mereka. Disanalah Tara
mengungkapkan isi hatinya. Ia menggenggam tangan Sati dan menatap lekat kedua
matanya.
“Sati.. entah
aku tak tahu bagaimana bicara sejujurnya kepadamu. Dimataku kamu adalah gadis
sederhana namun sangat istimewa. Setiap hari kamu selalu hadir di lamunanku
hingga terbawa ke mimpiku. Ingin setiap hari kulihat senyum manismu, ku dengar
suara merdumu, dan ku tatap mata indahmu. Satu yang harus kamu tau... Aku
sangat mencintaimu. Akan sangat bahagia jika aku bisa bersamamu seutuhnya.
Maukah kau menjadi kekasih hatiku?”
“Tak ada
alasan ku untuk tak menerima mu Tara. Tentu aku mau menjadi kekasih hatimu.
Entah apa yang harus aku katakan, yang jelas aku teramat bahagia.” Jawab
Sati singkat sambil tersenyum menitihkan air mata.
Sungguh malam itu dunia terasa
begitu indah bagi mereka. Ketika dua hati menjadi satu jua. Gejolak cinta
begitu menghantam keras relung hati keduanya. Setiap hari mereka selalu
menyempatkan diri untuk saling bertatap muka. Terutama pada saat akhir minggu,
mereka mempunyai waktu lebih lama untu bersama. Ya, dengan menyaksikan pertunjukan
seni di balai daerah. Namun tetap saja Sati enggan berterus terang kepada kedua
orang tuanya tentang hubungannya itu. Entah ada apa gerangan. Seperti ada yang
membuat Sati takut apabila berterus terang kepada orang tuanya tentang
hubungannya dengan Tara.
Setelah
4 bulan berpacaran, orang tua Sati akhirnya mmengetahui hubungan Sati dengan
Tara. Orang tua Sati terkejut dan begitu marah. Sati dan orang tuanya adalah
masyarakat Lampung Pepadun. Mereka punya aturan adat sendiri. Termasuk dalam
hal pernikahan. Menurut adat pepadun, seorang wanita harus mampu membelikan
alat perlengkapan yang dibutuhkan saat berumah tangga nanti tanpa mendapat
bantuan dana,barang,uang,harta atau sebagainya dari pihak manapun. Alat
perlengkapan itu harus diberikan kepada mempelai pria pada hari pernikahan.
Sementara orang tua Sati menyadari bahwa mereka dari golongan bawah sedangkan
Tara dari golongan atas. Pihak keluarga Sati pasti tidak akan mampu membeli
alat perlengkapan yag dibutuhkan kelak. Jadi mau tidak mau Sati harus
mengakhiri hubungannya dengan Tara. Hancur lebur hati Sati. Di satu sisi dia
begitu mencintai Tara namun di sisi lain dia tak mau membebani orang tuanya
mengingat kedua orang tuanya bersusah payah membesarkan dia dengan sabar selama
ini. Selain itu dia sudah berjanji untuk selalu patuh terhadap adat budayanya
setelah selama ini dia abaikan. Aturan pernikahan itu juga termasuk adat
budayanya dan mau tak mau Sati harus menghormatinya meski harus mengorbankan
cintanya. Hati Sati sangat teriris. Jadi itulah alasan selama ini mengapa
hubungannya dengan Tara tak lantas Sati utarakan pada orang tuanya.
Sati
mengajak Tara bertemu di taman. Sati menjelaskan semuanya kepada Tara bahwa dia
harus berpisah dengan Tara. Tara begitu terluka, hatinya hancur berkeping-keping.
Tara meneteskan air mata sambil tersenyum pada Sati. Dia berlapang dada jika
harus berpisah dengan Sati. Meski hatinya perih, Tara sangat bahagia bisa
membuat Sati gadis yang teramat dicintainya mempedulikan budayanya lagi seperti
apa yang diharapkan kedua orang tua Sati. Sati telah bejanji kepada Tuhan untuk
mencintai budayanya lagi termasuk dalam hal pernikahan dan Tara tak ingin
menghancurkan janji Sati itu. Jadi dengan amat terpaksa Tara mau jika harus
berpisah dengan Sati meskipun sebenarnya dia juga sangat mencintai Sati.
Kebetulan juga tugas kuliah Tara sudah selesai di Lampung dan dia harus segera
kembali ke Jakarta. Kala itu adalah peristiwa yang sangat menyiksa batin
mereka, dimana keduanya sama-sama mengucap salam perpisahan.
Kini
Sati menjalani hari-harinya tanpa Tara. Meski demikian dia tetap ceria. Dia
selalu mengingat pesan Tara bahwa janganlah pernah malu untuk mencintai budaya
meskipun orang di luar sana tak henti-hentinya menghina. Sati kini ikut
pelatihan tari di sanggar tari Manggarai. Sambil dia mengigat-ingat tarian yang
pernah dia pelajari di SMP dulu. Kini bahkan dia bisa mendapat penghasilan yang
melimpah dengan membuka sanggar tari untuk anak-anak dan menjual kain tenun
hasil karyanya. Sesuai yang disarankan Tara dahulu. Orang tua Sati begitu
bahagia dan bangga putrinya menjadi setegar sekarang. Hari-harinya kini
disibukkan dengan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Dengan begitu Sati tidak akan terlarut dalam kesedihan paska ditinggal Tara. Ya
meskipun Sati sering merindukan Tara. Namun mereka selalu dipertemukan dalam
do’a. Cinta memang begitu ajaib, cinta bisa mengubah apa dan siapa saja. Namun
terkadang cinta juga harus dikorbankan, tapi tidak semua pengorbanan itu
menyengsarakan. Selalu ada hikmah dari segala perbuatan.
SELESAI
jangan lupa coret-coret di komentar :D
jangan lupa coret-coret di komentar :D
Thanks, Wassalamualaikum
EmoticonEmoticon