Cerita Pendek "Antara Cinta dan Budaya" - by Bella Shifa

Tuesday, May 05, 2015

Assalamualaikum bos,
Teman saya pandai menulis karya, makanya saya publikasikan memalui blog ini. Namanya Bela Shifa, dia sekelas denganku dia selalu mendapat peringkat 1, ya tepatnya dikelas X7  SMA N 1 Subah. oke langsung saja dibaca dengan penuh perasaan :D



Antara Cinta dan Budaya
(karya: Bella Shifa X7)

            Bagaikan surga tersembunyi dibalik riuhnya negeri ini. Lukisan terindah Yang Maha Kuasa goreskan berhasil membuat hati setiap insani terpukau,terpesona, dan terpana, tiap kali menatap tajam pelataran surga ini. Sang angin yang goyah berhembus kesana kemari membelai lembut hati untuk jangan beranjak pergi. Percikan air sungai yang mengalir memang amat sangatlah gaduh, namun membuat setiap pasang telinga semakin ingin mendekat dan mendengarnya. Ladang nan luas menghijau menghasilkan harta berlimpah ruah tak terhingga. Udara pagi yang dingin tak lantas membekukan hati, justru mampu menghangatkan raga setiap insani. Sang surya tak pernah lelah pulang pergi dari mahligainya. Cahaya sang indra melawati celah pepohonan nan rindang bagaikan lentera ditengah gelapnya dunia. Indah,sejuk, dan menawan tatkala sang indra mulai datang di peraduannya. Kicauan burung begitu syahdu menyambut kedatangannya. Awan putih tersenyum cerah sembari menghiasi atmosfer dunia. Ribuan pasang mata terbuka menyambut tantangan yang terus datang menyerang setiap harinya. Ribuan pasang kaki mulai melangkah menuju tujuannya. Ribuan pasang tangan mulai bekerja melakukan aktivitas kesehariannya.  Dengan semangat yang begitu menggebu disanubarinya hingga nanti senja tiba mengakhirinya.
            Labuhan Maringgai, ya... . itu adalah suatu wilayah adat di daerah Lampung. Salah satu wilayah di Indonesia yang begitu kental akan adat budayanya. Dengan masyarakat yang begitu sopan dan murah senyum kepada siapa saja. Rasa kebersamaan dan gotong royong selalu terjalin diantara mereka. Salah satu wilayah disekian banyak wilayah-wilayah lainnya di nusantara yang damai,tentram, dan sejahtera. Beribu-ribu hektar perkebunan membentang luas dengan megahnya. Hamparan ladang sebagai sumber mata pencaharian kehidupan penduduk disana. Tak terkecuali Burhan dan Manihing, sepasang suami istri yang keduanya sudah berusia kepala empat. Namun sifat keduanya yang begitu mencintai adat budaya setempat patut menjadi teladan untuk setiap insan berbudaya. Manihing yang merupakan wanita keturunan Lampung dan merupakan warga Lampung asli, telah dipersunting oleh Burhan yang merupakan pria ibukota Jakarta. Meskipun keduanya berbeda daerah dan kebudayaan, mereka saling menghargai dan menghormati adat daerah satu sama lain. Terutama Burhan, ia bahkan memutuskan tinggal menetap di Labuhan Maringgai, Lampung yang merupakan tanah kelahiran istrinya karena begitu cintaya dengan adat budaya Lampung. Mereka dipertemukan tatkala Manihing dahulu hendak mencari pekerjaan di Ibukota. Hingga keduanya saling jatuh cinta, lalu menikah dan memiliki seorang anak perempuan yang cantik bernama Sati.
Sati kemarilah kau...! bantu amak menenun” panggil Manihing pada Sati sembari ia dengan ulet menenun satu per satu benang sutra nan indah itu. Sati yang pada saat itu tengah asik membaca komik kesukaannya merasa goyah kala amaknya memanggil mengehentikan aktivitasnya itu. Warga Lampung biasa memanggil ibu dengan sebutan “amak” dan ayah dengan sebutan “abak”. Sati lalu menuju ruang tengah menemui ibunya yang sedari tadi memanggil.
Apahal amak ini? Menggangguku baca komik saja!” ujar Sati dengan kesal.
Bantu amak menenun sebentar. Amak nak menyiapkan hidangan agar nanti saat abakmu pulang meladang sudah ada santapan” perintah Manihing. Kebiasaan wanita daerah Labuhan Maringgai mengisi waktu luangnya dengan menenun.
Baiklah amak..” jawab Sati terpaksa. Perlahan-lahan Sati mengaitkan dan menyatukan benang-benang sutra menggunakan alat bantu tradisional dari kayu itu. Tentu saja dengan perasaan kesal karena ibunya mengganggu asiknya dia yang tadi tengah membaca komik yang merupakan hobinya.
            Sedikit ulasan mengenai masa lalu Sati.... Sati dan orang tuanya merupakan keluarga yang sangat sederhana. Mereka tinggal dirumah yang merupakan warisan dari nenek Sati. Meski rumah yang terkesan sangat sederhana namun mereka tetap bersyukur karena rumah tua itu mampu melindungi mereka dari segala macam bahaya yang mengancam dan cuaca yang silih berganti. Manihing, Ibu Sati hanya seorang ibu rumah tangga yang setiap hari sibuk mengurusi segala urusan rumahnya. Sementara Burhan, ayah Sati mengais rejeki setiap harinya di ladang milik orang lain. Manihing dan Burhan sangat mencintai adat budaya Lampung. Namun sayangnya, Sati putri mereka tidak terlalu menyukai bahkan hampir tidak menyukai adat budaya setempat. Bukan tanpa alasan Sati bersikap seperti itu.
            Dulu sewaktu Sati masih duduk di bangku SD dan SMP, ia sangat mencintai budayanya. Dia aktif mengikuti ekstra tari disekolahnya, dia sangat bersemangat tatkala ibunya memerintahkannya menenun, dan dia rutin menyaksikan pertunjukan seni yang setiap minggunya diadakan di balai daerah. Akan tetapi semua itu hilang musnah tatkala Sati menempuh pendidikan di SMU Manggarai. Sikapnya terhadap budayanya amat sangat teramat berubah. Semua terjadi karena pengaruh geng sekolah. Arina,Rista,Helmi dan Dera yang merupakan anak golongan atas mencaci makinya habis-habisan.
“hahaha.. dasar anak kuper! Orang macam itu! bukan level kita! Bisanya Cuma nari-nari, nenun kain, apahal itu tak bermutu! Pantas saja keluargamu tidak mampu! Ibu tak kerja! Ayah Cuma meladang! Anaknya kuper bisanya Cuma itu-itu saja tak ada manfaatnya! Keluarga macam apa itu! hahaha..”
            Perkataan dari geng sekolahnya itu yang sampai sekarang masih membuat Sati sakit hati. Selama 3 tahun di SMU dia terus dicaci maki. Bukan hanya harga dirinya yang diinjak, tapi bahkan harga diri orang tuanya pun dinjak bagai sampah tak berguna. Perih sangat batin Sati pada saat itu. Sayangnya Sati tak bisa berfikir jernih. Bukannya berusaha melestarikan budaya yang ia tekuni agar lebih bermanfaat dan berguna bagi kehidupannya kelak, malah dia membenci budaya yang telah ditekuninya itu. Menurutnya karena ia mencintai adat istiadat yang memang terkesan jadul di era yang semakin global ini sehingga ia dicaci maki habis-habisan oleh orang lain. Yang pada akhirnya dia merubah sikapnya, dia tak lagi mempedulikan budaya yang sebelumnya dia banggakan. Dia tak lagi disibukkan dengan mengikuti ekstrakulikuler seni. Dia membantu ibunya menenun dengan setengah hati. Dia tak mau lagi tiap seminggu sekali mengunjungi balai daerah untuk menyaksikan pertunjukan seni. Hal ini tentu membuat kedua orang tuanya gelisah. Kedua orang tuanya begitu menginginkan Sati untuk terus mencintai budaya agar kelak dapat dilestarikan pada anak cucunya. Ya.. masyarakat Labuhan Maringgai memang begitu kental adat budayanya. Mereka menganggap bahwa budaya sebagai identitas dan jati diri yang melekat kuat pada jiwa mereka.
            Kedua orang tua Sati sebenarnya ingin memarahi Sati. Tapi mereka tidak tega, mereka tak ingin mengingatkan Sati pada cemoohan teman-teman sekolahnya dulu. Apalagi sekarang Sati sudah lulus SMU, namun ia tidak bisa melanjutkan ke jenjang selanjutnya karena keterbatasan ekonomi. Penghasilan Burhan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Karena itu kedua orang tuanya merasa sangat bersalah karena tidak bisa membantu Sati melanjutkan sekolahnya. Kedua orang tuanya tidak ingin menambah beban pikiran Sati. Kedua orang tuanya begitu mencintai Sati karena Sati adalah satu-satunya buah hati yang mereka miliki.

            “Aku tak akan menenun kalau bukan karena aku kasihan pada amak.” Gumam Sati dalam hati saat jari jemarinya sibuk menenun. Selang beberapa lama keudian, Burhan ayah Sati pulang meladang kala hari sudah mulai petang. Terlihat seorang laki-laki yang begitu lunglai kelelahan karena beradu dengan ganasnya sinar matahari saat di ladang tadi.
Sati... nanti malam ikut abak ke balai daerah ya? Kita lihat pertunjukan seni disana. Sudah lama sekali kamu tak menyaksikan itu..” ucap Burhan duduk disebelah Sati sembari mengelus kepaka Sati.
apa abak? Aku tak mau! Aku tak mau tahu lagi tentang adat-adat macam itu! aku tak mau harga diriku dinjak lagi!” ucap Sati dengan suara yang tinggi.
Burhan sudah tahu sebenarnya jikalau Sati akan menanggapi ajakannya seperti itu. Akhirnya Burhanpun mengalah. Ia tak mau memaksa putri satu-satunya yang begitu ia cintai itu. Ia takut jika Sati merasa tertekan lalu pergi meninggalkannya. Burhan membatalkan niatnya untuk pergi ke balai daerah.
            Keesokan harinya, Sati bangun pagi-pagi sekali. Fajar saja baru bangun menyingsing. “Amak aku nak pergi ke pasar dulu ya sebentar!” ucap Sati. “yasudah jangan siang-siang kau tiba di rumah” kata Manihing sambil menyiapkan sarapan untuk Burhan suaminya. Dengan mengayuh sepeda tuanya itu, Sati begitu bersemangat pergi ke pasar. Entah apa yang hendak di belinya, dan ternyata ia membeli poster yang disana terdapat wajah-wajah orang asing yang ia lihat dikomik Widney Shaldon kesukaannya itu. selain itu dia juga membeli komik-komik asing lainnya serta beberapa keping VCD lagu-lagu barat yang sering ia dengar lewat radio dikamarnya. Setelah ia mendapat apa yang dia mau itu dia bergegas pulang. Dengan senyum lebar dibibirnya dia mengayuh lagi sepeda tuanya itu. Di perjalanan pulang dia melihat seorang pemuda. Tampan,murah senyum dan sepertinya terlihat baik orangnya. Sontak saja Sati langsung terpana. Sebenarnya Sati sering sekali melihat pemuda itu, namun dia tak berani mendekatinya. Jangankan mendekati, menatap matanya saja Sati sudah tak kuasa.
            Sesampainya di rumah, Sati langsung membereskan dan menata rapi tak berantakan barang-barang yang dibelinya itu di kamarnya. VCD nya langsung dinyalakan, poster-poster ia tempelkan, dan komik barunya mulai dia baca dari awal dengan perlahan. Sungguh semua yang dia beli adalah pengaruh dari budaya-budaya barat. Bagai burung yang terbang di langit malam gelap, Sati sama sekali tak memperlihatkan lagi rasa pedulinya pada budaya lokal. Memang benar jika ada pepatah lidah senjata paling membunuh, terbukti hanya karena perkataan cemooh dari teman Sati dulu, ia sekarang bersikap seperti itu.
            Hari semakin siang. Sang indra semakin menampakkan dirinya ditengah langit dunia. Udara panas semakin menyengat terasa. Sati masih asik saja membaca komiknya itu. lembar demi lembar ia telusuri dengan sangat teliti. Tiba-tiba ibunya memanggil dari depan rumah “Sati!! tolong antarkan kain tenun ini ke rumah bu Cicik ya nak!” perintah Manihing. Sati menjawab “baiklah amak!”. Sati sebenarnya anak yang sangat patuh terhadap orang tuanya. Hanya saja setiap kali orangtuanya membicarakan masalah adat, Sati langsung menentang. Lalu Sati mengayuh sepada tuanya menuju rumah bu Cicik. Bu Cicik adalah wanita pemilik ladang tempat ayah Sati meladang. Entah mengapa sepanjang perjalanan jantung Sati berdegup sangat kencang dan darahnya mengalir begitu cepat. Entah firasat apa yang Sati rasakan.
            Setelah beberapa menit mengayuh Sati akhirnya tiba di rumah bu Cicik. “Alamak! Besar sekali rumah ini!” kagum Sati saat melihat rumah yang begitu megah nan mewah yang ada di depannya itu. Ia mengetuk pintu rumah megah itu dan kemudian keluar seorang wanita yang berwibawa. Ya.. wanita itu bu Cicik.
bu Cicik ini kain tenun titipan amak” kata Sati.
 “terimakasih nak, indah sangat! amakmu ini pandai sekali membuatnya. Masuklah sebentar nak, ibu ingin memberi sesuatu kepadamu” Ucap bu Cicik sambil tersenyum.
Satipun mengangguk lalu ia masuk kerumah itu. Matanya begitu terpana, ia memandang kesana kemari isi rumah nan megah bagai istana itu yang baru pertama kali ini di lihatnya. Bu Cicik sebenarnya adalah orang Jakarta, sama seperti Burhan ayah Sati. Tapi suami bu Cicik orang Lampung, sama seperti Manihing ibu Sati. Namun bu Cicik sangat membanggakan budaya Lampung, persis seperti Burhan ayah Sati.
Sati, udah nunggu lama ya? Maaf ya Sati. Ini ibuku memberi uang sebagai upah untuk ibumu. Maaf ibuku ada urusan mendadak jadi aku yang disuruh ngasih uang ini ke kamu” ucap seorang pemuda yang mengejutkan lamunan Sati saat memandangi isi rumah mewah itu.
Ya, pemuda itu adalah Tara, putra bu Cicik. Tara sudah 2 bulan ini menetap di Lampung untuk menyelesaikan tugas kuliahnya. Dia kuliah di salah satu fakultas ternama di Jakarta. Sesungguhnya  dia warga ibukota, terlihat kan dari logat bicaranya yang berbeda. Sati sangat terkejut mendapati seorang pemuda yang selama ini dikaguminya, yang selalu dia lihat saat mengantarkan bekal di ladang tempat ayahnya bekerja, yang dia lihat tadi pagi sehabis pulang dari pasar, dan pemuda itu sudah mengenalnya sementara Sati tidak tahu siapa dia. Tara lalu tersenyum dan dia tahu bahwa Sati heran kenapa Tara sudah tau Sati. Tara mengajak Sati berkenalan. Tara pemuda yang tutur katanya sngat sopan, wajahnya sangat rupawan dan hatinya yang sangat dermawan membuat Sati benar-benar jatuh hati. Tara sebenarnya juga sudah lama mengagumi Sati. Ia memperhatikan Sati setiap Sati datang ke ladang ibunya untuk mengantarkan bekal kapada Burhan ayah Sati. Dimata Tara Sati adalah gadis cantik, sederhana, rajin dan selalu berbakti kepada orang tua. Tara juga sering bertanya-tanya pada Burhan tentang Sati disela-sela istirahat kerja Burhan di ladang. Namun Tara tidak menunjukkan kalau dia telah mengagumi Sati.
Sati.. besok kita ketemu ya, aku ingin mengajakmu kesuatu tempat” ajak Tara tanpa basa-basi. Satipun terkejut, dia memandang dan menatap dalam-dalam mata Tara. Begitu pula dengan Tara. Jantung Sati berdegup kencang bagai genderang perang. Pemuda yang ia idam-idamkan mengajak pergi bersama. Satipun tersenyum mengagguk sambil tersipu malu lalu dia pulang. Sesampai di rumah dia sangat bahagia, hatinya merekah berbunga-bunga. Ia terbayang-bayang Tara yang tanpa ragu mengajaknya pergi bersama.
            Hari yang ditunggupun tiba, siang itu Sati dengan inisiatif pergi kerumah Tara untuk mengajaknya pergi sesuai dengan ajakan Tara kemarin. Karena Sati juga belum tau dia akan diajak kemana. Ketika Sati hendak mengetuk pintu rumah Tara, secara bersamaan Tara juga membuka pintu rumahnya. Dan merekapun saling berhadapan, saling menatap satu sama lain. Betapa bahagianya hati Sati, lidahnya kelu tak mampu berkata apapun.
Kok kesini? Sebenarnya kamu mau aku jemput” kata Tara,
ah sudah tak perlu, aku bukan ratumu yang harus selalu kau jemput setiap waktu” canda Sati pada Tara.
Tara hanya tersenyum lalu ia menggandeng tangan Sati ke sepeda motornya. “silahkan naik, Sati” ajak Tara dengan semangat yang membara. Tanpa ragu Satipun langsung naik ke sepeda motor itu. lalu mereka berangkat.
            Tak lama kemudian mereka sampai di tempat tujuan. Sati sangat terkejut! Ternyata Tara membawanya ke balai daerah. Disana banyak orang sedang berlatih untuk pertunjukan seni. Sati benar-benar terkejut. Perasaannya marah,bingung,kesal campur aduk menjadi satu. Pertunjukan seni biasa diadakan seminggu sekali di labuham manggarai ini. Pertunjukan itu selalu diadakan di balai daerah. Tara memang sengaja membawa Sati ketempat itu dengan harapan Sati mau mencintai budayanya lagi. Meskipun Tara lebih sering tinggal di jakarta tapi dia sangat menghargai budaya lainnya. Ayah Tara yang merupakan warga Lampung sudah meninggal karena serangan jantung saat Tara masih kecil, oleh karena itu agar Tara tidak melupakan adat budaya daerah tempat tinggal almarhum ayahnya, Tara dan ibunya terus menghormati dan mencintai budaya Lampung. Mendengar cerita dari Burhan ayah Sati tentang Sati, Tara langsung tersentuh.
Tara kenapa kamu membawa ku ke tempat ini!” ucap Sati kesal.
kenapa? Apa yang salah dengan tempat ini? Aku sangat mencintai budaya disini Sati” ucap Tara
tapi aku tidak suka tempat ini Tara!”. Lalu Tara meraih tangan Sati dan mengajaknya duduk di bangku sudut balai daerah.
Sati dengarlah.. meskipun aku bukan orang asli daerah ini aku begitu menghormati dan mencintai budaya disini. Budaya disini sangat indah, tidak kah kau kagum? Semua orang disini sangat antusias melestarikan budayanya. Mereka menari,bernyanyi,bergembira menikmati budaya yang ada.”
tapi Tara, kamu tak tahu kalau...
aku tahu Sati.. di dunia ini kita tidak hidup sendiri. Ada banyak orang lain dari berbagai kalangan. Namun ingat, siapapun yang mencaci maki kamu, mengejekmu, mereka justru lebih rendah dari kamu. Jangan pernah malu untuk mencintai kebudayaanmu sendiri. Malulah saat dirimu tertunduk kala orang lain menghinamu sementara mereka tidak tau apa-apa tentang budaya, tidak seperti kamu Sati..”
tapi Tara aku sangat sakit hati” ucap Sati sambil matanya berkaca-kaca.
Sati ingatlah, sakit hati tak perlu sampai berlarut-larut. Hati kamu terlalu baik sehingga banyak yang ingin menyakitimu. Sadarlah, aku dan ayahmu bukan penduduk asli disini. Tapi meskipun demikian kami mencintai adat yang ada. Lihat ibu dan ayahmu, mereka bekerja keras membesarkanmu dengan harapan kamu bisa seperti mereka. Mencintai kebudayaan yang ada seperti apa yang dilakukan masyarakat disini. Kamu bisa mendapat penghasilan dengan bakat menari yang kamu mliki, kamu bisa membuka sanggar tari sendiri. Kamu juga mendapat penghasilan dengan keahlian menenun kamu, kamu bisa menjual kain tenun hasil karyamu. Betapa itu kelebihan yang kamu miliki Sati. sadarlah.. kamu jauh lebih tinggi dari mereka yang mencacimu.”  Tara berusaha menyadarkan Sati.
Tara, aku ingin pulang...” ucap Sati lemas. Sati tak tahu darimana Tara tahu segalanya. Namun yang jelas perasaan Sati saat itu kacau. Tara tersenyum lalu mengantar Sati pulang.
Sesampai dirumah, Sati langsung menuju kedalam rumah tanpa mengucap sepatah kata pun pada Tara. Tara memaklumi sikap Sati pada saat itu. Tara sangat berharap agar Sati dapat mengubah pola pikirnya. Sati begitu terburu menuju ke kamarnya. Pintu kamar dia hempaskan  begitu saja. Sati selalu teringat ucapan yang dikatakan Tara. Sati sadar akhirnya, bahwa selama ini sikapnya salah. Ia teringat kedua orangtuanya. Ia menyesal telah terlarut-larut dalam rasa sakit hati akibat cemoohan teman SMUnya dulu. Tak seharusnya dia malu mencintai budayanya. Padahal dengan budayanya justru dia dapat lakukan lebih. Dia begitu menyesal, sampai dia malu pada dirinya sendiri. Dia menangis tersedu-sedu. Air matanya menganak sungai. Namun dengan menangis dan menyesali perbuatannya, kini dia berfikir jernih. Dia berjanji kepada Tuhan dan dirinya sendiri untuk tidak lagi bersikap tak acuh pada budaya yang sebenarnya mengalir dalam darahnya. Ia ingin menjadi apa yang orang tuanya harapkan. Hari itu Sati mengurung dirinya di dalam kamar, dia ingin membenahi dirinya sendiri.
Keesokan harinya Sati bangun pagi-pagi sekali. Kini dia muncul dengan pribadi yang baru. Dia begitu tersenyum riang tiada terkira. Dia membantu ibunya memasak dan mengurus segala pekerjaan rumah dengan begitu semangat. Setelah itu dia menuju kamarnya yang dipenuhi dengan poster, VCD dan komik baratnya itu. Dia mengambil sebuah  kardus di dalam lemarinya yang terbuat dari kayu jati itu. Di dalam kardus itu terdapat banyak sekali rekaman-rekaman dan VCD tarian tradisional yang ia koleksi semasa SMP dulu. Ia ambil lalu ia taruh di meja kamarya menggantikan posisi komik-komik barat yang ia koleksi sebelumnya. Akhirnya, kini Sati kembali pada pribadinya yang dulu yang begitu mencintai budayanya. Tiap hari pun tangannya selalu disibukkan dengan kegiatan menenunnya.  Orang tuanya pun tak mengerti bagaimana bisa dia tiba-tiba berubah, apa yang membuatnya tiba-tiba berbeda. Tapi bagaimanapun juga mereka sangat bersyukur bahwa putrinya kini menjadi seseorang yang mereka inginkan.
Kini Sati dan Tara sering pergi ke balai daerah untuk menyaksikan pertunjukan seni. Mereka pergi bersama tanpa sepengetahuan orang tua Sati. Entah mengapa Sati tak mau berterus terang kepada orang tuanya tentang Tara. Meski demikian kini Tara sangat bahagia. Hatinya begitu merdeka. Tara bahagia karena ia berhasil mengubah gadis yang dia dambakan menjadi apa yang orang tua Sati harapkan. Mereka sering pergi bersama. Seperti ada ikatan batin diantara mereka sehingga untuk saling menjauh pun mereka tak kuasa. Setiap malam mereka selalu dipertemukan dalam do’a. Ya, karena hati tak bisa dibohongi bahwa mereka sebenarnya ingin saling memiliki. Namun diantara keduanya belum ada yang berani mengungkapkan perasaanya. Terutama Sati, dia begitu minder apakah Tara mau dengan gadis sederhana seperti dirinya sementara Tara adalah lelaki kaya raya.
Hingga pada suatu malam, sepulang dari pertunjukan seni di balai daerah, Tara mengajak Sati ke sebuah taman. Lampu taman dan bunga-bunga yang indah menjadi saksi mereka. Disanalah Tara mengungkapkan isi hatinya. Ia menggenggam tangan Sati dan menatap lekat kedua matanya.
Sati.. entah aku tak tahu bagaimana bicara sejujurnya kepadamu. Dimataku kamu adalah gadis sederhana namun sangat istimewa. Setiap hari kamu selalu hadir di lamunanku hingga terbawa ke mimpiku. Ingin setiap hari kulihat senyum manismu, ku dengar suara merdumu, dan ku tatap mata indahmu. Satu yang harus kamu tau... Aku sangat mencintaimu. Akan sangat bahagia jika aku bisa bersamamu seutuhnya. Maukah kau menjadi kekasih hatiku?”
Tak ada alasan ku untuk tak menerima mu Tara. Tentu aku mau menjadi kekasih hatimu. Entah apa yang harus aku katakan, yang jelas aku teramat bahagia.” Jawab Sati singkat sambil tersenyum menitihkan air mata.
Sungguh malam itu dunia terasa begitu indah bagi mereka. Ketika dua hati menjadi satu jua. Gejolak cinta begitu menghantam keras relung hati keduanya. Setiap hari mereka selalu menyempatkan diri untuk saling bertatap muka. Terutama pada saat akhir minggu, mereka mempunyai waktu lebih lama untu bersama. Ya, dengan menyaksikan pertunjukan seni di balai daerah. Namun tetap saja Sati enggan berterus terang kepada kedua orang tuanya tentang hubungannya itu. Entah ada apa gerangan. Seperti ada yang membuat Sati takut apabila berterus terang kepada orang tuanya tentang hubungannya dengan Tara.
            Setelah 4 bulan berpacaran, orang tua Sati akhirnya mmengetahui hubungan Sati dengan Tara. Orang tua Sati terkejut dan begitu marah. Sati dan orang tuanya adalah masyarakat Lampung Pepadun. Mereka punya aturan adat sendiri. Termasuk dalam hal pernikahan. Menurut adat pepadun, seorang wanita harus mampu membelikan alat perlengkapan yang dibutuhkan saat berumah tangga nanti tanpa mendapat bantuan dana,barang,uang,harta atau sebagainya dari pihak manapun. Alat perlengkapan itu harus diberikan kepada mempelai pria pada hari pernikahan. Sementara orang tua Sati menyadari bahwa mereka dari golongan bawah sedangkan Tara dari golongan atas. Pihak keluarga Sati pasti tidak akan mampu membeli alat perlengkapan yag dibutuhkan kelak. Jadi mau tidak mau Sati harus mengakhiri hubungannya dengan Tara. Hancur lebur hati Sati. Di satu sisi dia begitu mencintai Tara namun di sisi lain dia tak mau membebani orang tuanya mengingat kedua orang tuanya bersusah payah membesarkan dia dengan sabar selama ini. Selain itu dia sudah berjanji untuk selalu patuh terhadap adat budayanya setelah selama ini dia abaikan. Aturan pernikahan itu juga termasuk adat budayanya dan mau tak mau Sati harus menghormatinya meski harus mengorbankan cintanya. Hati Sati sangat teriris. Jadi itulah alasan selama ini mengapa hubungannya dengan Tara tak lantas Sati utarakan pada orang tuanya.
            Sati mengajak Tara bertemu di taman. Sati menjelaskan semuanya kepada Tara bahwa dia harus berpisah dengan Tara. Tara begitu terluka, hatinya hancur berkeping-keping. Tara meneteskan air mata sambil tersenyum pada Sati. Dia berlapang dada jika harus berpisah dengan Sati. Meski hatinya perih, Tara sangat bahagia bisa membuat Sati gadis yang teramat dicintainya mempedulikan budayanya lagi seperti apa yang diharapkan kedua orang tua Sati. Sati telah bejanji kepada Tuhan untuk mencintai budayanya lagi termasuk dalam hal pernikahan dan Tara tak ingin menghancurkan janji Sati itu. Jadi dengan amat terpaksa Tara mau jika harus berpisah dengan Sati meskipun sebenarnya dia juga sangat mencintai Sati. Kebetulan juga tugas kuliah Tara sudah selesai di Lampung dan dia harus segera kembali ke Jakarta. Kala itu adalah peristiwa yang sangat menyiksa batin mereka, dimana keduanya sama-sama mengucap salam perpisahan.
            Kini Sati menjalani hari-harinya tanpa Tara. Meski demikian dia tetap ceria. Dia selalu mengingat pesan Tara bahwa janganlah pernah malu untuk mencintai budaya meskipun orang di luar sana tak henti-hentinya menghina. Sati kini ikut pelatihan tari di sanggar tari Manggarai. Sambil dia mengigat-ingat tarian yang pernah dia pelajari di SMP dulu. Kini bahkan dia bisa mendapat penghasilan yang melimpah dengan membuka sanggar tari untuk anak-anak dan menjual kain tenun hasil karyanya. Sesuai yang disarankan Tara dahulu. Orang tua Sati begitu bahagia dan bangga putrinya menjadi setegar sekarang. Hari-harinya kini disibukkan dengan kegiatan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dengan begitu Sati tidak akan terlarut dalam kesedihan paska ditinggal Tara. Ya meskipun Sati sering merindukan Tara. Namun mereka selalu dipertemukan dalam do’a. Cinta memang begitu ajaib, cinta bisa mengubah apa dan siapa saja. Namun terkadang cinta juga harus dikorbankan, tapi tidak semua pengorbanan itu menyengsarakan. Selalu ada hikmah dari segala perbuatan.

SELESAI

jangan lupa coret-coret di komentar :D
Thanks, Wassalamualaikum

Artikel Terkait

Previous
Next Post »